Pemilihan Umum (Pemilu) adalah momen penting dalam kehidupan demokrasi sebuah negara. Di Indonesia, Pemilu menjadi pesta rakyat yang menentukan arah masa depan bangsa. Namun, dalam kegembiraan menyambut Pemilu 2024, kita perlu menyadari potensi gangguan dari kelompok radikal dan ancaman terorisme yang bisa merusak proses demokrasi.
Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya, memiliki tantangan tersendiri dalam menjaga keamanan selama pelaksanaan Pemilu. Kelompok radikal dan terorisme bisa memanfaatkan kerentanan ini untuk menciptakan ketegangan dan memperkeruh suasana politik.
Perkembangan teknologi membawa dampak besar dalam proses Pemilu, namun juga membuka pintu bagi radikalisasi di ruang digital. Media sosial dan platform daring dapat menjadi wadah untuk menyebarkan ideologi radikal dan propaganda terorisme. Pemilu 2024 mungkin menjadi ajang penyebaran narasi ekstrem yang dapat memecah belah masyarakat.
Radikalisme di ruang digital dapat mengacu pada penyebaran ideologi radikal, berita bohong (hoax), retorika berbahaya, atau tindakan ekstremisme melalui platform online seperti media sosial, situs web, dan aplikasi pesan. Kelompok radikal dapat memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyebarkan hoax, berita palsu dan propaganda yang dirancang untuk mempengaruhi pemilih dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu.
Mantan narapidana terorisme (napiter) Ali Fauzi Manzi mengakui adanya ancaman ekstremisme dan radikalisme pada Pemilu 2024. Terbukti dengan adanya penangkapan 59 terduga teroris di Jakarta, Bekasi, dan Poso oleh Densus 88 selama Oktober 2023. Ali Fauzi mengungkapkan, 59 terduga teroris itu diketahui terafiliasi dengan kelompok eks napiter Abdullah Umar, yang baru setahun bebas dari Nusakambangan. Mereka, disebut berencana untuk mengganggu jalannya Pemilu 2024.
Menurut Ali Fauzi, ancaman radikalisme selalu ada meskipun banyak dari mereka yang sudah ditangkap oleh Densus 88. Sebab, ada anggota kelompok-kelompok radikal tersebut yang masih bebas dan tidak sedikit jumlahnya. Mantan kombatan Bom Bali 1 itu berharap, Pemilu 2024 dapat berjalan secara aman dan damai sehingga masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya sesuai dengan hati nuraninya.
Menghadapi potensi gangguan kelompok radikal dan terorisme, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah perlu meningkatkan keamanan secara menyeluruh, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku radikal dan teroris menjadi langkah krusial.
Ali Fauzi berpendapat perlu adanya penguatan program moderasi beragama yang melibatkan banyak elemen masyarakat untuk meminimalisir ancaman kekerasan berbasis agama pada Pemilu 2024. Bukan hanya polisi, BNPT, Densus 88, tetapi para alim ulama, NU, Muhammadiyah juga perlu dilibatkan dalam program moderasi beragama. Indonesia lahir, tumbuh, dan berkembang juga merupakan hasil dari kontribusi para alim ulama. Apalagi, tokoh agama berperan cukup besar dalam melahirkan Pancasila.
Pemahaman itu tentu berbeda dengan pandangan kelompok radikal yang menganggap seolah-olah agama dan Pancasila berlawanan. Hal tersebut lah yang sebetulnya menjadi tantangan bagi seluruh elemen masyarakat untuk ikut memberikan pemahaman kepada kelompok radikal ini. Kelompok radikal tentu mengusung basis ideologi yang mereka pahami. Paham yang salah itu yang harus dibantu untuk diluruskan dan dirangkul, bukan dipukul. Oleh sebab itu, Ali Fauzi menyebut, penting untuk memaksimalkan program moderasi beragama guna meminimalisir berkembangnya ideologi radikal yang menganggap agama dan Pancasila bertentangan.
Senada dengan Ali Fauzi, aktivis anti-radikalisme, Ken Setiawan juga mengatakan, bahwa stabilitas nasional dapat terjaga dengan baik melalui sinergi antara ulama dan umara. Para ulama dan umara harus bijaksana dalam menyampaikan isu-isu sensitif, mengingat Indonesia akan menghadapi Pemilu 2024. Dengan demikian dapat terwujud suasana Pemilu yang kondusif. Sebab pesta demokrasi seharusnya membuat rakyat bersuka cita memilih pemimpin tanpa harus dipaksa masuk pada polarisasi yang tajam.
Pendidikan dan kesadaran masyarakat juga memegang peran penting dalam menanggulangi radikalisasi. Program-program pendidikan yang mempromosikan toleransi, pluralisme, dan pemahaman terhadap perbedaan menjadi instrumen untuk mencegah terbentuknya basis pendukung kelompok radikal. Selain itu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa memiliki peran strategis dalam mendeteksi dan melaporkan aktivitas kelompok radikal. Keterlibatan aktif dari berbagai pihak ini dapat membantu mengawasi perkembangan situasi dan memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Penting untuk membangun narasi politik yang inklusif dan memperkuat persatuan di tengah perbedaan. Partisipasi semua pihak, tanpa memandang suku, agama, atau golongan, menjadi kunci keberhasilan Pemilu. Dalam suasana yang kondusif, potensi kelompok radikal dan terorisme dapat diminimalisir.
Pemilu 2024 adalah ujian bagi kedewasaan demokrasi Indonesia. Untuk itu, dalam menghadapi potensi gangguan kelompok radikal dan terorisme, perlu langkah-langkah preventif yang kuat. Dengan bersatunya pemerintah, masyarakat, dan semua elemen bangsa, diharapkan Pemilu 2024 dapat menjadi peristiwa yang mampu membuktikan kekuatan demokrasi Indonesia. Kewaspadaan bersama adalah kunci untuk menjaga integritas proses demokrasi dan memastikan bahwa suara rakyat benar-benar tercermin dalam hasil Pemilu.
)* Penulis merupakan anggota Koalisi Masyarakat Anti Radikalisme