Memetakan Kerawanan Pemilu 2024


Ibaratkan pohon yang memiliki unsur akar, batang, dan cabang, ketiganya menentukan anatomi keberlangsungan hidup suatu tumbuhan. Demikian juga dalam melihat pelanggaran pemilu. Jangan sampai menyelesaikan pelanggaran hanya pada cabangnya, sementara akar persoalannya terus tumbuh.

Pendekatan pohon masalah menjadi cara pandang bagi penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang dirilis Bawaslu RI (16/12). Analisis pohon masalah dilakukan dengan membentuk pola pikir yang lebih terstruktur mengenai sebab akibat yang berkaitan potensi pelanggaran. Penggunaan pohon masalah juga dalam rangka merencanakan intervensi apa yang direkomendasikan untuk mewujudkan integritas pemilu ke depan.

Potensi masalah yang muncul, dalam IKP, disebut dengan kerawanan. Kerawanan sendiri didefinisikan sebagai segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Dengan mendasarkan undang-undang pemilu, IKP memiliki tujuan untuk memetakan potensi kerawanan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, melakukan proyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran pemilu serta menjadi basis untuk program pencegahan dan pengawasan mendatang.

Dalam menyusun indeks kerawanan, Bawaslu memulai memetakan pemilu dalam empat dimensi, yaitu konteks sosial dan politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi dan partisipasi.
Dimensi konteks sosial dan politik meliputi keamanan, otoritas penyelenggara pemilu, dan otoritas penyelenggara negara. Dimensi penyelenggaraan pemilu meliputi hak memilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi, dan pengawasan pemilu. Dimensi kontestasi meliputi hak dipilih dan kampanye calon. Sementara dimensi partisipasi meliputi partisipasi pemilih dan partisipasi kelompok masyarakat.


Dari keseluruhan dimensi, terdapat enam puluh satu indikator yang diukur. Yaitu pelanggaran yang terjadi dalam pemilu dan pemilihan lima tahun terakhir yang terjadi di provinsi dan kabupaten/kota. Setiap indikator mengukur jumlah kejadian dan tingkat kejadian. Ketika data yang dikumpulkan sudah dipenuhi, maka nilai dari setiap indikator dihitung dengan menjumlahkan kejadian dan dibobot dengan tingkat kejadian yang ada lalu menghasilkan skor. Skor inilah yang kemudian disandingkan antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Di tingkat provinsi, dimensi penyelenggaraan pemilu tercatat menjadi dimensi paling tinggi dalam mempengaruhi kerawanan pemilu. Dimensi berikutnya yang berpotensi besar melahirkan kerawanan pemilu adalah dimensi konteks sosial politik, dimensi kontestasi kemudian dimensi partisipasi politik.

Berdasarkan hasil IKP 2024, pemetaan kerawanan tingkat provinsi menempatkan 5 provinsi (15%) dengan kategori rawan tinggi, 21 provinsi masuk dalam kategori rawan sedang (62%), dan 8 provinsi masuk dalam kategori rawan rendah.

Provinsi dengan kerawanan tinggi tersebut adalah DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Kelima provinsi ini paling banyak memiliki kejadian dan tingkat kejadian yang rawan sehingga membutuhkan semakin tinggi upaya pencegahan potensi pelanggaran ke depan.

Sementara untuk Kabupaten/Kota, sebanyak 85 Kabupaten/Kota (16,54%) memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, 349 Kabupaten/Kota (67,90%) memiliki tingkat kerawanan sedang, dan 80 kabupaten/kota (15,56%) memiliki tingkat kerawanan yang rendah.

Sepuluh besar daerah tingkat Kabupaten/kota yang rawan tinggi separuh diantaranya berasal dari Provinsi Papua. Kelima kabupaten/kota dari Provinsi Papua tersebut adalah Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Mappi, dan Kabupaten Jayapura. Kemudian lima kabupaten/kota lainnya adalah Kabupaten Labuhanbatu Utara (Sumatera Utara), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kota Banjarbaru (Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Bandung (Jawa Barat).

Berdasarkan hasil IKP, catatan yang perlu menjadi perhatian bersama terdapat pada lima hal yang menjadi akar persoalan untuk mewujudkan pemilu dan pemilihan 2024 yang berintegritas, yaitu netralitas penyelenggaraan, pelaksanaan pemilu di provinsi baru, polarisasi masyarakat pemilih, penggunaan media sosial dan pemenuhan hak kelompok rentan.

Netralitas penyelenggara pemilu harus dijaga, dirawat, dan dikuatkan untuk meningkatkan kepercayaan publik sekaligus merawat harapan publik akan proses pemilihan umum yang lebih kredibel dan akuntabel. Polemik proses verifikasi faktual partai politik yang diwarnai oleh ketegangan di internal penyelenggara pemilu, menjadi pengalaman penting bagi penyelenggara pemilu terkait urgensi menjaga netralitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.

Pelaksanaan tahapan pemilu di daerah otonomi baru di wilayah Papua dan Papua Barat juga harus menjadi perhatian khusus, terutama terkait kesiapan wilayah baru dalam mengikuti ritme dari tahapan pemilu yang sudah berjalan. Terdapat empat provinsi baru yang wajib segera dituntaskan persiapannnya dengan segera membentuk badan penyelenggaranya yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya.

Berikutnya adalah potensi masih kentalnya polarisasi di masyarakat pemilih terkait dukungan politik yang harus menjadi perhatian untuk menjaga kondusivitas dan stabilitas selama tahapan pemilihan umum berjalan. Hal ini terutama terkait dengan intensitas penggunaan media sosial yang makin meningkat, yang tentu membutuhkan langkah-langkah mitigasi secara khusus untuk mengurangi dampak politik dan kerawanan yang terjadi dari dinamika politik di dunia digital. Perbincangan di media sosial adalah perbincangan yang sehat dan bersih dari konten politisasi berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).

Terakhir adalah terkait dengan pemenuhan hak memilih dan dipilih bagi kelompok rentan sebagai bagian dari upaya melayani hak-hak warga negara, terutama dari kalangan perempuan dan kelompok disabilitas. Semua pihak mendukung dengan kuat bagaimana perempuan bisa terlibat kuat dan proporsional dalam setiap penyelenggaraan dan kontestasi Pemilu sekaligus memberikan advokasi yang tinggi terhadap kelompok disabilitas, kelompok pinggiran dan pemilih rentan lainnya.

Pada akhirnya, mewujudkan pemilu yang jurdil harus dimulai dengan memetakan kerawanan yang akurat untuk menindak pelanggaran dengan tepat. Jika tidak, kita hanya seperti menembak burung besar tapi dengan senapan angin.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama