Ibaratkan pohon yang memiliki unsur akar, batang, dan cabang,
ketiganya menentukan anatomi keberlangsungan hidup suatu tumbuhan. Demikian
juga dalam melihat pelanggaran pemilu. Jangan sampai menyelesaikan pelanggaran
hanya pada cabangnya, sementara akar persoalannya terus tumbuh.
Pendekatan pohon masalah menjadi cara pandang bagi
penyusunan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang dirilis Bawaslu RI (16/12).
Analisis pohon masalah dilakukan dengan membentuk pola pikir yang lebih
terstruktur mengenai sebab akibat yang berkaitan potensi pelanggaran.
Penggunaan pohon masalah juga dalam rangka merencanakan intervensi apa yang
direkomendasikan untuk mewujudkan integritas pemilu ke depan.
Potensi masalah yang muncul, dalam IKP, disebut
dengan kerawanan. Kerawanan sendiri didefinisikan sebagai segala hal yang
berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Dengan
mendasarkan undang-undang pemilu, IKP memiliki tujuan untuk memetakan potensi
kerawanan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota, melakukan proyeksi dan
deteksi dini terhadap potensi pelanggaran pemilu serta menjadi basis untuk
program pencegahan dan pengawasan mendatang.
Dalam menyusun indeks kerawanan, Bawaslu memulai
memetakan pemilu dalam empat dimensi, yaitu konteks sosial dan politik,
penyelenggaraan pemilu, kontestasi dan partisipasi.
Dimensi konteks sosial dan politik meliputi
keamanan, otoritas penyelenggara pemilu, dan otoritas penyelenggara negara.
Dimensi penyelenggaraan pemilu meliputi hak memilih, pelaksanaan kampanye,
pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi, dan pengawasan pemilu. Dimensi
kontestasi meliputi hak dipilih dan kampanye calon. Sementara dimensi
partisipasi meliputi partisipasi pemilih dan partisipasi kelompok masyarakat.
Dari keseluruhan dimensi, terdapat enam puluh satu
indikator yang diukur. Yaitu pelanggaran yang terjadi dalam pemilu dan
pemilihan lima tahun terakhir yang terjadi di provinsi dan kabupaten/kota.
Setiap indikator mengukur jumlah kejadian dan tingkat kejadian. Ketika data
yang dikumpulkan sudah dipenuhi, maka nilai dari setiap indikator dihitung
dengan menjumlahkan kejadian dan dibobot dengan tingkat kejadian yang ada lalu
menghasilkan skor. Skor inilah yang kemudian disandingkan antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Di tingkat provinsi, dimensi penyelenggaraan
pemilu tercatat menjadi dimensi paling tinggi dalam mempengaruhi kerawanan
pemilu. Dimensi berikutnya yang berpotensi besar melahirkan kerawanan pemilu
adalah dimensi konteks sosial politik, dimensi kontestasi kemudian dimensi
partisipasi politik.
Berdasarkan hasil IKP 2024, pemetaan kerawanan
tingkat provinsi menempatkan 5 provinsi (15%) dengan kategori rawan tinggi, 21
provinsi masuk dalam kategori rawan sedang (62%), dan 8 provinsi masuk dalam
kategori rawan rendah.
Provinsi dengan kerawanan tinggi tersebut adalah
DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Timur.
Kelima provinsi ini paling banyak memiliki kejadian dan tingkat kejadian yang
rawan sehingga membutuhkan semakin tinggi upaya pencegahan potensi pelanggaran
ke depan.
Sementara untuk Kabupaten/Kota, sebanyak 85
Kabupaten/Kota (16,54%) memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, 349
Kabupaten/Kota (67,90%) memiliki tingkat kerawanan sedang, dan 80
kabupaten/kota (15,56%) memiliki tingkat kerawanan yang rendah.
Sepuluh besar daerah tingkat Kabupaten/kota yang
rawan tinggi separuh diantaranya berasal dari Provinsi Papua. Kelima
kabupaten/kota dari Provinsi Papua tersebut adalah Kabupaten Intan Jaya,
Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Mappi, dan Kabupaten
Jayapura. Kemudian lima kabupaten/kota lainnya adalah Kabupaten Labuhanbatu
Utara (Sumatera Utara), Kabupaten Pandeglang (Banten), Kota Banjarbaru
(Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Bandung (Jawa Barat).
Berdasarkan hasil IKP, catatan yang perlu menjadi
perhatian bersama terdapat pada lima hal yang menjadi akar persoalan untuk
mewujudkan pemilu dan pemilihan 2024 yang berintegritas, yaitu netralitas
penyelenggaraan, pelaksanaan pemilu di provinsi baru, polarisasi masyarakat
pemilih, penggunaan media sosial dan pemenuhan hak kelompok rentan.
Netralitas penyelenggara pemilu harus dijaga,
dirawat, dan dikuatkan untuk meningkatkan kepercayaan publik sekaligus merawat
harapan publik akan proses pemilihan umum yang lebih kredibel dan akuntabel.
Polemik proses verifikasi faktual partai politik yang diwarnai oleh ketegangan
di internal penyelenggara pemilu, menjadi pengalaman penting bagi penyelenggara
pemilu terkait urgensi menjaga netralitas dan profesionalitas penyelenggara
pemilu.
Pelaksanaan tahapan pemilu di daerah otonomi baru
di wilayah Papua dan Papua Barat juga harus menjadi perhatian khusus, terutama
terkait kesiapan wilayah baru dalam mengikuti ritme dari tahapan pemilu yang
sudah berjalan. Terdapat empat provinsi baru yang wajib segera dituntaskan
persiapannnya dengan segera membentuk badan penyelenggaranya yaitu Papua
Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya.
Berikutnya adalah potensi masih kentalnya
polarisasi di masyarakat pemilih terkait dukungan politik yang harus menjadi
perhatian untuk menjaga kondusivitas dan stabilitas selama tahapan pemilihan
umum berjalan. Hal ini terutama terkait dengan intensitas penggunaan media
sosial yang makin meningkat, yang tentu membutuhkan langkah-langkah mitigasi
secara khusus untuk mengurangi dampak politik dan kerawanan yang terjadi dari
dinamika politik di dunia digital. Perbincangan di media sosial adalah
perbincangan yang sehat dan bersih dari konten politisasi berdasarkan Suku,
Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
Terakhir adalah terkait dengan pemenuhan hak
memilih dan dipilih bagi kelompok rentan sebagai bagian dari upaya melayani
hak-hak warga negara, terutama dari kalangan perempuan dan kelompok
disabilitas. Semua pihak mendukung dengan kuat bagaimana perempuan bisa
terlibat kuat dan proporsional dalam setiap penyelenggaraan dan kontestasi
Pemilu sekaligus memberikan advokasi yang tinggi terhadap kelompok disabilitas,
kelompok pinggiran dan pemilih rentan lainnya.
Pada akhirnya, mewujudkan pemilu yang jurdil harus
dimulai dengan memetakan kerawanan yang akurat untuk menindak pelanggaran
dengan tepat. Jika tidak, kita hanya seperti menembak burung besar tapi dengan
senapan angin.